gambar

Statistik

Rabu, 26 Juni 2013

Ignatia, i love my life

0 komentar


                Dua tahun aku nggak berkunjung ke tempat ini. Kesibukan menahanku cukup lama. Dan aku nggak mampu keluar dari pusarannya.
                Sebelumnya, tempat sepi ini nggak pernah kukunjungi sampai jam tujuh malam.  Suasana bukit yang tanpa suara sebenarnya bukan tempat kesukaanku. Entah apa yang mampu menahanku hari ini. Mungkin karena kangen papa, atau banyaknya cerita yang ingin kubagi dengan laki-laki terhebat yang ada sepanjang hidupku. Herannya, kenapa papa ingin sekali tinggal disini.
                Dulu, waktuku masih kecil, aku pernah nanya ke papa arti nama Ignatia yang dia sematkan untukku. “ Pa, temen-temen namanya punya arti semua. Si Grace artinya berkat, si Magda gara-gara nyamain Maria Magdalena. Kata Magda, mamanya pengen Magda punya teladan kayak Maria Magdalena. Si Amat juga nama aslinya ternyata Muhammad. Aku artinya apa dong ? “ saat itu, aku sedang ada dalam pelukan papa, sesaat sebelum tidur malam. Nyaman sekali.
                “ Mama kamu yang pesan, kalau anak perempuannya dikasih nama Ignatia. Yang artinya berapi-api. Semangat membara. Mama mau kamu jadi pemain bulutangkis hebat yang punya semangat membara.” Jawab papa saat itu. Setelah memberi tahu arti namaku, papa menyambungnya dengan cerita-cerita tentang mamaku, yang menurutnya wanita paling cantik dan paling dibutuhkan setelah omaku. Begitu mama pergi setelah melahirkanku, papa seperti kehilangan setengah nyawanya, sekaligus setengah kakinya. Semangat hidupnya langsung redup. Tapi sadar akan kehadiranku, membuat semangatnya bangkit lagi. Papa kembali menjalani hidupnya, mengasuhku berdua dengan kakaknya yang sampai sekarang tidak menikah. Papa juga memutuskan tidak menikah lagi dan fokus membesarkanku.
                Gelar sarjana sudah ditangan. Walaupun saat itu papa nggak sempat menghadiri wisudaku. Nggak lama kemudian aku diterima bekerja sebagai costumer service di salah satu perusahaan mode ternama di New York, sehingga mengharuskanku menetap disana untuk waktu yang panjang. Kebiasaan mengunjungi papa pun berubah. Biasanya seminggu sekali, sekarang jadi setahun atau dua tahun sekali.
                Kalau mau dibalik kemasa lalu, papa yang bekerja di Petronas Malaysia saja masih bisa bertemu denganku setiap weekend. Padahal aku tau, hari Senin papa sudah harus ada diruang meeting dikantornya. Dan kebiasaan weekend bersamaku itu tidak pernah berubah sampai beliau pensiun. Belum lagi dalam setahun kita bisa beberapa kali liburan ke tempat-tempat baru di Indonesia, memancing dan memotret banyak hal. Ada lebih dari sepuluh album foto karyaku dan papa yang diambil dibanyak tempat. Termasuk foto ditempat ini, ketika kita baru membelinya sepuluh tahun lalu.
                Kalau saja papa masih bicara dan berbagi nasihat serta candaan-candaannya, mungkin hari ini aku nggak sesedih ini. Menemukan wanita lain, tidur dengan nyaman dalam pelukan tunanganku yang sebentar lagi akan menjadi suamiku. Tapi papa sudah bisu sejak lama. Papa nggak mampu lagi berkata-kata.
                Aku mengendarai SUV dengan kecepatan tinggi menuju bandara untuk kemudian langsung ke Indonesia, untuk membatalkan semua rencana pernikahan impianku. Mendatangi wedding planner-ku dan menyuruhnya menghentikan semua persiapan pernikahan yang sudah selesai sembilan puluh persen. Membakar kebaya putih panjang yang akan kukenakan pada pemberkatan nikahku, dan menghancurkan semua barang-barang yang mulai memenuhi rumahku di Jakarta. Kemudian, tanpa sepengetahuan semua keluargaku yang lain, aku mencegat taksi dan menyuruhnya mengantarku kesini. Ketemu papa. Aku nggak butuh siapapun hari ini. Aku hanya butuh papa. Tapi ketika papa juga nggak bisa bicara apapun, bahkan nggak lagi bisa memelukku, berpuluh-puluh obat penenang pun ku masukkan kedalam mulut. Aku nggak ingin lagi ada didunia yang sama dengan mantan tunanganku. Aku nggak ingin lagi hidup disini. Aku hanya ingin menemui papaku, dimanapun beliau berada dengan malaikatnya. Aku ingin secepatnya obat ini bereaksi. Melumpuhkan semua yang perlu dilumpuhkan dalam tubuhku, dan mematikanku dengan segera.
                Hingga akhirnya tante Rena muncul dengan beberapa orang kerabat yang lain, mendekapku yang bersimbah busa putih berbau dari dalam mulut. Dia mendengarkan sebuah lagu rohani yang dinyanyikan seorang anak kecil ditelingaku. Lantunan pianonya sangat indah, mengiringi suara lirih seorang anak kecil perempuan.
                Kami puji dengan riang, DiKau Allah Yang Besar, Bagai bung t'rima siang, Hati kamipun mekar
Kabut dosa dan derita, Kebimbangan t'lah lenyap, Sumber suka yang abadi,B'ri sinarMu menyerap
                “ Tia harus sembuh yaaa. Harus selalu memuji Tuhan. Harus selalu bersyukur biar penyakitnya kalah.” Kata sebuah suara diantara sayup-sayup lantunan piano. Suara lembut seorang laki-laki, yang bicara padaku. Entah kapan hal itu direkam. Tapi dipendengaranku, ada seorang anak perempuan yang menanggapi kalimat tadi dengan “ Apa yang bisa Tia syukuri dengan sakit ini Pa ? temen-temen Tia bisa main ujan dan sekolah karena mereka nggak sakit kanker, tapi Tia kekamar mandi dan main air disana aja nggak bisa.”
                Lalu suara papa kembali membujuk anak kecil itu. “ Tia harus bersyukur sayang. Tia diuji Tuhan supaya bisa kuat, tegar. Kekuatan iman Tia yang nantinya nyembuhin Tia. Jadi, Tia harus sembuh ya. Untuk papa, untuk tante Rena, untuk semuanya.”
                Aku ingat sekarang, obrolan itu terjadi dirumah sakit saat aku berumur sepuluh tahun dan terkena kanker darah stadium awal. Papa dengan sigap memboyongku kerumah sakit di Jakarta, dan menghubungi semua teman yang dirasa bisa membantunya. Papa menghubungi dokter spesialis, temannya, yang hari itu tidak bisa menolong karena sedang study di Prancis. Beberapa orang dokter akhirnya melakukan tindakan medis untukku. Tapi menurut cerita papa, Tuhan justru mengirim seseorang yang tidak diduga untuk menolongnya. Seorang anak kecil yang sudah sekarat, menemuiku dikamar pada suatu pagi, dan berkata “kamu harus sembuh. Papamu sayang kamu. Kalau aku tidak perlu sembuh. Aku tidak punya siapa-siapa yang menyayangiku.” Dan hari demi hari dihabiskan anak itu dikamarku, memainkan piano untukku menyanyikan lagu kami puji dengan riang bersama-sama dan menumbuhkan semangatku agar bisa bangun lagi di keesokan hari.
                Papa bilang, semangat dan iman kita yang menyembuhkan kita. Kita hanya perlu bersyukur untuk banyak hal baik yang muncul dari setiap kejadian. Dan hari ini, kata-kata itu kembali terngiang dalam otakku, saat nyawaku rasanya sudah hampir  meninggalkan ragaku. Aku kesulitan mengangkat tanganku. Hanya isakan tangis banyak orang yang bisa kudengar dengan jelas dan nyanyian kami puji dengan riang yang memiliki cerita indah dalam hidupku itu. Aku harus hidup. Aku harus kuat. Aku harus menunjukkan pada dunia, aku kuat tanpa mereka. Tanpa orang-orang yang menyakitiku. Dan mereka memang tidak pantas hidup disekitarku. Mereka bukan orang yang baik. Dan Tuhan menunjukan semua itu sebelum terlambat.  Aku harusnya bersyukur. Tapi, aku sepertinya sudah benar-benar terlambat. Aku sudah bisa melihat ragaku terbaring tanpa daya dipelukan tante Rena. Sesaat kemudian aku melihat tante Rena memasukkan jarinya kedalam mulutku, dalam sekali sampai-sampai aku bisa merasakan jari itu. Mengorek tenggorokanku, memaksaku memuntahkan semua yang kutelan. Dan aku benar-benar memuntahkannya. Aku tidak lagi bisa melihat tubuhku, aku hanya bisa melihat tatapan mata tante Rena didekatku, dan beberapa orang lainnya disekitarku. Mereka langsung membawaku pergi meninggalkan bukit ini, meninggalkan kuburan papa, menuju rumah sakit untuk memulihkan fisikku. Aku punya kesempatan kedua untuk hidup lebih baik. Aku bersyukur punya papa yang hebat, yang berpikir untuk merekam pembicaraan berharga itu, hingga bisa menjadi penghiburan yang tepat disaat aku hampir saja membunuh diriku sendiri.

                Bersyukurlah dalam segala hal, dan segalanya akan menjadi lebih baik.

Rabu, 24 April 2013

My First Flash Fiction

0 komentar

     Aku baru saja tiba dari sebuah perjalanan panjang yang tidak ku tahu arah langkahnya. Sebenarnya aku juga bingung, aku baru melangkah dari mana tadi ? Kakiku bergerak tanpa bisa berhenti. Tepatnya bukan hanya melangkah di pijakannya. Terkadang aku melangkah di gugusan awan putih hitam berganti-gantian. Entahlah.
    Sampai akhirnya aku tiba disebuah dataran tinggi, dengan jutaan lampu kota yang terang benderang dibawah sana. Angin dingin menusuk ke kedalaman tulang belulangku. Sebuah tatapan yang kucinta kembali memenuhi ingatanku. Tatapan yang tidak pernah terlupakan.
     Raut wajahnya yang tenang, tapi tegas dan sedikit terlihat keras. Rahangnya yang kokoh, wajahnya yang putih, dan tanpa senyum yang selalu membuatku penasaran. Semakin sering aku memikirkannya, semakin aku mencintai setiap wujudnya yang sempurna tanpa dosa, rasanya.
     Aku sebenarnya membuat sedikit kejutan untuk sosok yang paling kucintai itu. Karena aku benar-benar berharap akan memilikinya sebagai teman sepanjang hidupku, dan bersamaku sampai ajalku nanti. Kalian tahu, aku punya bayangan pernikahan terindah yang pernah aku pikirkan. Dengan lampu kecil kelap kelip yang memenuhi seisi taman, dan lagu-lagu klasik yang mengalun dari piano tua, sungguh romantis menurutku.
    Tapi, seandainya aku bisa memohon atau membincangkan namanya dengan TUHAN, aku mau dia ada di satu dunia yang sama denganku. Meskipun untuk bisa bersamanya, aku harus memohon kepada pemilik mata tajam itu, agar segera saja mencabut nyawaku. Karena, yang sangat ku cintai itu adalah malaikat pencabut nyawaku.

SEANDAINYA. "Jika daratan dibawah kakiku sama dengan dibawah kakimu, tentu kita sudah menikah, hai malaikat pencabut nyawaku tercinta."

older post

Translate