Dua
tahun aku nggak berkunjung ke tempat ini. Kesibukan menahanku cukup lama. Dan
aku nggak mampu keluar dari pusarannya.
Sebelumnya,
tempat sepi ini nggak pernah kukunjungi sampai jam tujuh malam. Suasana bukit yang tanpa suara sebenarnya
bukan tempat kesukaanku. Entah apa yang mampu menahanku hari ini. Mungkin
karena kangen papa, atau banyaknya cerita yang ingin kubagi dengan laki-laki
terhebat yang ada sepanjang hidupku. Herannya, kenapa papa ingin sekali tinggal
disini.
Dulu,
waktuku masih kecil, aku pernah nanya ke papa arti nama Ignatia yang dia
sematkan untukku. “ Pa, temen-temen namanya punya arti semua. Si Grace artinya
berkat, si Magda gara-gara nyamain Maria Magdalena. Kata Magda, mamanya pengen
Magda punya teladan kayak Maria Magdalena. Si Amat juga nama aslinya ternyata
Muhammad. Aku artinya apa dong ? “ saat itu, aku sedang ada dalam pelukan papa,
sesaat sebelum tidur malam. Nyaman sekali.
“ Mama
kamu yang pesan, kalau anak perempuannya dikasih nama Ignatia. Yang artinya
berapi-api. Semangat membara. Mama mau kamu jadi pemain bulutangkis hebat yang
punya semangat membara.” Jawab papa saat itu. Setelah memberi tahu arti namaku,
papa menyambungnya dengan cerita-cerita tentang mamaku, yang menurutnya wanita
paling cantik dan paling dibutuhkan setelah omaku. Begitu mama pergi setelah
melahirkanku, papa seperti kehilangan setengah nyawanya, sekaligus setengah
kakinya. Semangat hidupnya langsung redup. Tapi sadar akan kehadiranku, membuat
semangatnya bangkit lagi. Papa kembali menjalani hidupnya, mengasuhku berdua
dengan kakaknya yang sampai sekarang tidak menikah. Papa juga memutuskan tidak
menikah lagi dan fokus membesarkanku.
Gelar
sarjana sudah ditangan. Walaupun saat itu papa nggak sempat menghadiri
wisudaku. Nggak lama kemudian aku diterima bekerja sebagai costumer service di salah satu perusahaan mode ternama di New York,
sehingga mengharuskanku menetap disana untuk waktu yang panjang. Kebiasaan
mengunjungi papa pun berubah. Biasanya seminggu sekali, sekarang jadi setahun
atau dua tahun sekali.
Kalau
mau dibalik kemasa lalu, papa yang bekerja di Petronas Malaysia saja masih bisa
bertemu denganku setiap weekend.
Padahal aku tau, hari Senin papa sudah harus ada diruang meeting dikantornya.
Dan kebiasaan weekend bersamaku itu tidak pernah berubah sampai beliau pensiun.
Belum lagi dalam setahun kita bisa beberapa kali liburan ke tempat-tempat baru
di Indonesia, memancing dan memotret banyak hal. Ada lebih dari sepuluh album
foto karyaku dan papa yang diambil dibanyak tempat. Termasuk foto ditempat ini,
ketika kita baru membelinya sepuluh tahun lalu.
Kalau saja
papa masih bicara dan berbagi nasihat serta candaan-candaannya, mungkin hari
ini aku nggak sesedih ini. Menemukan wanita lain, tidur dengan nyaman dalam
pelukan tunanganku yang sebentar lagi akan menjadi suamiku. Tapi papa sudah
bisu sejak lama. Papa nggak mampu lagi berkata-kata.
Aku mengendarai
SUV dengan kecepatan tinggi menuju bandara untuk kemudian langsung ke Indonesia, untuk membatalkan semua rencana
pernikahan impianku. Mendatangi wedding planner-ku dan menyuruhnya menghentikan
semua persiapan pernikahan yang sudah selesai sembilan puluh persen. Membakar kebaya
putih panjang yang akan kukenakan pada pemberkatan nikahku, dan menghancurkan
semua barang-barang yang mulai memenuhi rumahku di Jakarta. Kemudian, tanpa
sepengetahuan semua keluargaku yang lain, aku mencegat taksi dan menyuruhnya
mengantarku kesini. Ketemu papa. Aku nggak butuh siapapun hari ini. Aku hanya
butuh papa. Tapi ketika papa juga nggak bisa bicara apapun, bahkan nggak lagi
bisa memelukku, berpuluh-puluh obat penenang pun ku masukkan kedalam mulut. Aku
nggak ingin lagi ada didunia yang sama dengan mantan tunanganku. Aku nggak
ingin lagi hidup disini. Aku hanya ingin menemui papaku, dimanapun beliau
berada dengan malaikatnya. Aku ingin secepatnya obat ini bereaksi. Melumpuhkan semua
yang perlu dilumpuhkan dalam tubuhku, dan mematikanku dengan segera.
Hingga akhirnya
tante Rena muncul dengan beberapa orang kerabat yang lain, mendekapku yang
bersimbah busa putih berbau dari dalam mulut. Dia mendengarkan sebuah lagu
rohani yang dinyanyikan seorang anak kecil ditelingaku. Lantunan pianonya
sangat indah, mengiringi suara lirih seorang anak kecil perempuan.
Kami puji dengan riang, DiKau Allah Yang
Besar, Bagai bung t'rima siang, Hati kamipun mekar
Kabut dosa dan derita, Kebimbangan t'lah lenyap, Sumber suka yang abadi,B'ri sinarMu menyerap
Kabut dosa dan derita, Kebimbangan t'lah lenyap, Sumber suka yang abadi,B'ri sinarMu menyerap
“ Tia
harus sembuh yaaa. Harus selalu memuji Tuhan. Harus selalu bersyukur biar
penyakitnya kalah.” Kata sebuah suara diantara sayup-sayup lantunan piano. Suara
lembut seorang laki-laki, yang bicara padaku. Entah kapan hal itu direkam. Tapi
dipendengaranku, ada seorang anak perempuan yang menanggapi kalimat tadi dengan
“ Apa yang bisa Tia syukuri dengan sakit ini Pa ? temen-temen Tia bisa main
ujan dan sekolah karena mereka nggak sakit kanker, tapi Tia kekamar mandi dan
main air disana aja nggak bisa.”
Lalu suara
papa kembali membujuk anak kecil itu. “ Tia harus bersyukur sayang. Tia diuji
Tuhan supaya bisa kuat, tegar. Kekuatan iman Tia yang nantinya nyembuhin Tia. Jadi,
Tia harus sembuh ya. Untuk papa, untuk tante Rena, untuk semuanya.”
Aku ingat
sekarang, obrolan itu terjadi dirumah sakit saat aku berumur sepuluh tahun dan
terkena kanker darah stadium awal. Papa dengan sigap memboyongku kerumah sakit
di Jakarta, dan menghubungi semua teman yang dirasa bisa membantunya. Papa menghubungi
dokter spesialis, temannya, yang hari itu tidak bisa menolong karena sedang
study di Prancis. Beberapa orang dokter akhirnya melakukan tindakan medis
untukku. Tapi menurut cerita papa, Tuhan justru mengirim seseorang yang tidak
diduga untuk menolongnya. Seorang anak kecil yang sudah sekarat, menemuiku
dikamar pada suatu pagi, dan berkata “kamu harus sembuh. Papamu sayang kamu. Kalau
aku tidak perlu sembuh. Aku tidak punya siapa-siapa yang menyayangiku.” Dan hari
demi hari dihabiskan anak itu dikamarku, memainkan piano untukku menyanyikan
lagu kami puji dengan riang bersama-sama dan menumbuhkan semangatku agar bisa
bangun lagi di keesokan hari.
Papa bilang,
semangat dan iman kita yang menyembuhkan kita. Kita hanya perlu bersyukur untuk
banyak hal baik yang muncul dari setiap kejadian. Dan hari ini, kata-kata itu
kembali terngiang dalam otakku, saat nyawaku rasanya sudah hampir meninggalkan ragaku. Aku kesulitan mengangkat
tanganku. Hanya isakan tangis banyak orang yang bisa kudengar dengan jelas dan
nyanyian kami puji dengan riang yang memiliki cerita indah dalam hidupku itu. Aku
harus hidup. Aku harus kuat. Aku harus menunjukkan pada dunia, aku kuat tanpa
mereka. Tanpa orang-orang yang menyakitiku. Dan mereka memang tidak pantas
hidup disekitarku. Mereka bukan orang yang baik. Dan Tuhan menunjukan semua itu
sebelum terlambat. Aku harusnya
bersyukur. Tapi, aku sepertinya sudah benar-benar terlambat. Aku sudah bisa
melihat ragaku terbaring tanpa daya dipelukan tante Rena. Sesaat kemudian aku
melihat tante Rena memasukkan jarinya kedalam mulutku, dalam sekali
sampai-sampai aku bisa merasakan jari itu. Mengorek tenggorokanku, memaksaku
memuntahkan semua yang kutelan. Dan aku benar-benar memuntahkannya. Aku tidak
lagi bisa melihat tubuhku, aku hanya bisa melihat tatapan mata tante Rena
didekatku, dan beberapa orang lainnya disekitarku. Mereka langsung membawaku
pergi meninggalkan bukit ini, meninggalkan kuburan papa, menuju rumah sakit
untuk memulihkan fisikku. Aku punya kesempatan kedua untuk hidup lebih baik. Aku
bersyukur punya papa yang hebat, yang berpikir untuk merekam pembicaraan
berharga itu, hingga bisa menjadi penghiburan yang tepat disaat aku hampir saja
membunuh diriku sendiri.
Bersyukurlah dalam segala hal, dan segalanya
akan menjadi lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar